“Indah
sekali...” hanya ini kalimat yang terlintas di kepalaku saat aku melihat semua
pemandangan ini, sambil aku bernafas dalam-dalam. Sesekali aku merasakan sapuan
angin di wajahku, sambil memejamkan mata aku menikmatinya.
***
Entah
apa yang merasukiku hari ini. Aku meninggalkan kota untuk pergi sejenak melapas
penat atau pun melepas sesak yang bahkan aku tidak tau itu ada di dalam diriku.
Aku tidak tau tujuan ku, namun jiwaku menuntun aku untuk pergi melangkah.
Tubuhku pun tanpa ragu mengikutinya.
Semakin
jauh aku meninggalkan kota, dada ini rasanya semakin sesak. Entah sudah berapa
lama aku berada di kota itu, dan entah sudah berapa lama aku bertegur sapa
dengan banyak orang. Aku mulai merenungkannya, dan air mata ku jatuh perlahan.
“Aku kesepian
Jiwaku berteriak memaksaku mengisi ruang kosong yang gelap jauh
di dalam hatiku
Tapi, saat aku
menelusurinya
Aku tidak menemukan
tempat yang kosong itu
Perasaanku menjadi buta,
sesaat...
Semakin ku cari, semakin
aku menderita
Semakin jiwa ini meratap
Sakit...”
Jiwa
ini memaksaku untuk terus berjalan, bahkan aku sendiri tidak tau sudah berapa
lama waktu yang sudah ku habiskan di perjalanan ini.
“Hai jiwaku
Tenanglah engkau,
berdamailah denganku
Jangan terus kau paksa
tubuh ini...
Jika kau bisa berkata,
bahasa yang ku mengerti
Katakanlah apa yang
menjadi mau mu
Kau, aku dan tubuh ini
adalah satu
Tidak bisakah saling
berbagi
Tentang apa yang tumbuh
di dalammu?”
Perjalanan
ini sama sekali tidak membuat ku bosan. Seolah-olah aku semakin dekat dengan
apa yang ku cari. Kantuk tidak bertemu denganku hari ini. Hal ini sungguh tidak
biasa, karena aku tau sungguh jauhnya perjalanan yang sudah ku tempuh.
Jauh
sudah jarak yang ku tempuh, dan aku coba berhenti sejenak. Ku ambil botol
minumanku, dan aku memulai meminum airku seteguk demi seteguk perlahan. Pada
tegukan yang ketiga tiba-tiba tangisku pecah. Aku terisak, nafasku kacau, air
mataku tak dapat ku bendung. Aku tak bisa berkata-kata, selain hanya gigi yang
menggertap.
“Tangis...
Mungkin kau adalah
bahasa
Yang tidak ku mengerti
Tapi kau keluar...
Saat aku sedih maupun
bahagia
Apa sebenarnya dirimu?
Mengapa kau terlahir
dari emosi?”
“Arrrkkkkhhhhhhhhhh...”
di sudut jalan yang sepi aku berteriak. Perjalanan ini sungguh membawaku masuk
ke dalam sebuah dimensi yang tidak dapat ku lihat dan aku mengerti. “Apakah
Tuhan menciptakan dimensi lain, dimensi yang hanya dimengerti rasa? Sungguhkah
itu ada?”.
Aku
tidak akan membuang waktuku, akan kulanjutkan perjalanan ini. Aku seka air
mataku, dan aku berusaha mendapatkan irama nafasku kembali. “Hhhhhmmmm.....
Hah...” ku tarik nafas ku dalam-dalam dan ku hembuskan dengan panjang.
Hari
ini segera berakhir, gelap malam semakin pekat. Aku sudah sangat jauh dari
garis start, dan tidak lama lagi aku
akan menemukan finish-ku. Aku tidak
tau, tapi sepertinya akan seperti itu.
Aku
tidak pernah melihat bintang sebanyak ini sebelumnya. Aku kembali berhenti
ditengah gelap malam yang pekat. Ya, hanya aku sendiri disini malam ini dibawah
bintang-bintang. Bintang-bintang ini seolah menyaksikanku, mereka seolah
memberikanku kekuatan. Dan satu hal yang ku sadari, tak selamanya perjalanan
ini membawaku terhanyut dalam melonya perasaan.
“Ya,
Bintang pun bisa bercara
Ia bisa menjadi tawa
Bahkan membuat ku
tertawa dengan celotehannya
Ya,
Celotehan bintang...
Ini terdengar gila, tapi
ini tidak gila
Hanya kita yang tidak
memahaminya
Sayang jika hanya
menggambar bintang
Dan menciptakan
imajinasi dari menggabungkannya, fantasi...
Ya,
Bintang berbicra malam
ini padaku”
Fajar
menyingsih warna keemasanya mulai muncul kembali. Aku sudah tiba ditempat ini
sebelum fajar terjaga. Tempat ini begitu tinggi, dingin dan gelap saat aku tiba.
Aku tidak tau dimana ini, dan apa yang ada di depanku, semuanya tidak terlihat
jelas. Namun, cahaya fajar perlahan-lahan memperlihatkan tempat dimana aku
berpijak.
Aku
begitu sabar hingga semuanya jelas. Hanya aku manusia disini saat ini, aku
menyaksikan semua ini, “Indah sekali...”. Aku ditemani langit, awan, angin. Aku
tepat berada dibawah pohon tua yang rindang dan tinggi. Selebihnya hanyalah
rerumputan hijau terkadang ada juga yang warnanya keemasan, serata bukit-bukit
yang berbaris di depan mataku.
Aku
terseyum lama, bersama nyanyian burung pagi. Angin menggerakkan rambutku,
seakan mengajak mataku bercanda dengan semua pemandangan ini. “Terlihat,
tertutup, terlihat, tertutup...” mungkin angin akan berkata seperti itu.
“Jiwaku,
Membawa aku ke tempat
yang tidak ku tuju
Dalam jalanku,
Jiwaku bercerita dalam tangisku
Teriak ku mebalas pesan
bagi jiwaku
Berkali-kali aku mencoba
berdamai,
Namun bintanglah yang
menenangkanku
Kini fajar
Memperlihatkan tujuan
jiwaku
Indah...”
Aku
sekarang tau tujuan perjalanan ini. Jiwaku mengajak aku berlibur. Semuanya mengalir
dari dalam, mengalir begitu saja. Ya, aku, jiwaku, dan tubuhku adalah satu. Hanya
kamilah yang mengerti diri kami. Ya, saat ini aku sudah berteman dengan tubuh
dan jiwaku. Aku tidak sendiri dalam perjalanan ini. Bahkan kali ini aku
berteman dengan bintang dan fajar muda.
Lucu,
tapi aku sudah memahaminya. Ini bukan tentang seberapa lama waktu yang sudah ku
habiskan di kota tempat aku tinggal, dan ini bukan tentang seberapa banyak aku
sudah bertegur sapa dengan orang-orang. Ini tentang waktu yang sudah ku berikan
untuk aku, tubuh dan jiwaku.
“Kita mengerti satu sama
lain
Walau kita tidak
menggunakan bahasa yang sama
Kita memahami satu sama
lain
Walau caranya berbeda
Namun, kita akan punya
bahasa dan cara yang sama,
Saat kita sudah telalu
lelah dan lupa tentang kita
Kapan terakhir kali kita
luangkan waktu bersama?
Kita sadari kita
melontarkan pertanyaan yang sama
Kembali...
Kita kembali mengenal
lagi
Terimakasih untuk kita
Terimakasih untuk aku,
jiwa dan tubuhku
Terimakasih untuk
perjalan ini”
Karena kita tau cara
mencintai kita, kita tau cara mencintai yang bukan kita.