Hari
ini tak seperti biasanya, Mira terlihat murung. Keceriaannya yang biasa
disaksikan teman-temannya seolah tidak pernah ada. Ia menjadi sosok
yang berbeda hari ini. Tatapan matanya terlihat kosong, bibirnya pucat.
Pagi
itu ia mulai memasuki lingkungan sekolahnya, melewati gerbang, mading,
dan perlahan masuk ke ruang kelasnya. Ia datang awal pagi itu, sehingga
belum ada yang datang saat Ia memasuki ruangan.
Mira
berhenti sejenak tepat di pintu kelas. Entah apa yang terjadi air
matanya jatuh tak terbendung. Ia berusaha untuk lari, namun kakinya
menjadi kaku tak menurut dengan kehendanya. Ia terduduk di lantai dan
tangisannya pecah dan terdengar makin keras.
Ia
mencoba kendalikan emosi dan mulai berhenti menangis. Perlahan ia cona
bangkit dan berusaha menuju mejanya. Matanya bengkak. Ya, Mira sudah
menangis semalaman.
Usai
jam sekolah Mira seperti biasa pulang dengan berjalan kaki. Ia melewati
jembatan merah yang biasa Ia lalui, melewati taman, toko kue
langganannya, namun saat ia tiba di pertigaan jalan menuju rumahnya, ia
terdiam. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan, fokusnya mulai hilang,
pandangannya tak terarah.
Hati
dan emosinya kembali bergejolak, Mira terlihat menahan amarah dan
tangis yang menjadi satu. Ia berlari dari tempat ia berpijak, menjauh
dari rumahnya.
Air
matanya jatuh setetes demi setetes, hingga akhirnya tak terbendung
lagi. Ia tak tahan, dadanya terasa sesak. Beberapa kali iya
memukul-mukul dadanya, seolah menandakan ia mohon agar dadanya tidak
merasakan sesak.
Ia
terduduk di bangku trotoar tepat di bawah pohon yang rindang. Angin
yang berhembus menggugurkan dedaunan pohon itu. Bunyi mesin
kendaraan-kendaraan di jalanan, klakson kendaran yang dibunyikan
bergantian, menemaniya duduk disana.
Sejenak Mira melayangkan pandangannya. Dan Ia melihat gereja. Ia bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju gereja itu.
Mira
duduk di kursi tengah aula gereja. Ia terdiam sesat. Ya, air matanya
kembali menetes. Di biarkannya air matanya menetes tanpa menghapusnya.
Ia terus menangis, ya tanpa suara dia terus menangis. Matanya terus
mengeluarkan air mata, dan ia hanya bisa menatap salib di depan aula
gereja.
Mira
mulai membuka dompetnya. Ia mengeluarkan foto kenangan yang ia simpan
di dompetnya. Foto itu adalah foto ia, ayah dan ibunya. Air matanya yang
berjatuhan membasahi foto itu.
Dengan hancur hati Mira datang kepada Tuhan melalui doanya dengan penuh tangisan,
“Tuhan,
aku bersyukur untuk kebahagiaan yang ku rasakan selama ini dalam
keluargaku. Kebahagian utuh sebagai keluarga kecil. Terimakasih untuk
mama papa yang Engkau tempatkan di sisiku. Mereka yang selalu ada saat
hari ulang tahunku, menemaniku bermain ketika aku kecil, menyuapi ku
saat aku sakit. Tuhan ku mohon, janganlah kira kebahagiaan ini berlalu
Tuhan. Ku mohon, jangan ambil kebahagiaan ini. Tuhan, terlalu banyakkah
aku meminta?”
Ya,
semalam Mira menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Hal yang
tidak pernah ia lihat dan tak pernah terbersit di dalam pikirannya.
Sosok ayah yang ia kenal baik hati berselingkuh, dan hal yang
mengejutkan ternyata Mira sudah mempunyai adik dari hasil perselingkuhan
ayahnya.
Mira
takut apa yang akan terjadi nanti padanya dan ibunya. Ia merasa semua
ini tidak adil. Tapi apa boleh buat, inilah yang terjadi.
“Mengapa
anak selalu menjadi korban dari keserakahan orang tua? Apa yang kurang
dari ibuku? Sehebat apakah selingkuhan ayahku? Dan bagaimana perasaan
adik ku saat kelak ia tumbuh dewasa? Tidakkah hatinya hancur saat ia tau
ibunya pelakor?” lanjut Mira dalam doanya.
-SELESAI-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar